Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.
Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.
PENGENALAN DAN SEJARAH ACEH
Aceh yang
sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa
Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah
provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur
tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan
sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah
utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah
timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah
Malahayati-Krueng Raya, Ulee
Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan
kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004.
Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat
adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh
Barat, Singkil dan Simeulue.Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.
Sejarah
Aceh
Pada zaman
kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan
negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah
asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut,
kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak.
Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia
Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman,
dan Belanda.
Kesultanan Aceh
terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama
dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 denganBritania
Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa
menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau
Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada
tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana
Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania
mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada
tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan
untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan
tersebut.
Kesultanan
Aceh
Kesultanan
Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang
hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara
pulauSumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang
panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan
begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan
pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme
bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin
hubungan diplomatik dengan negara lain.
Bahasa
Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.
Agama
Sebagian besar
penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di
Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di
Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang
suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan
bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama
Konghucu.Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan
kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Aceh memiliki beberapa Kabupaten antara lain :
1. Kabupaten Aceh Besar Ibu Kota
Jantho
19.Kota Banda Aceh Ibukota Banda
Aceh
20.Kota Sabang Ibukota Sabang
21.Kota Langsa Ibukota Langsa
22.Kota Lhoksemawe Ibukota
Lhokseumawe
23.Kota Sulubussalam
Ibukota Merah Sakti Kombih.
Jenis Adat Istiadat Kebudayaan Aceh
Aceh sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nangro Darussalam ini terdapat beberapa subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Diantara subetnis diatas, setiap etnis mempunyai adat istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan dari beberapa suku di indonesia. Diantaranya adalah:
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang
sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan
nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat
dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan
serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan
jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat
Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga
malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki
dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan
dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada
malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho,
silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian
perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang
telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua
orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi.
Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli
membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti
oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna,
kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum
menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan
sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto
baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih
dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk
menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah
dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada
dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua
mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo
adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam
sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya.
Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga
kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga
pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga
pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi
selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga
memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya
didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara
bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah
selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto
baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang,
ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro
masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun
Tanah)
Upacara
turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2
tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak
pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau
lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik
perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang
bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang
dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut
dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa
dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga
dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu
perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut
mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak
bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau
mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.
3. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah
nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat
Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk
yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa
seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan,
daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari
Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan
Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari.
Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang
yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani
secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat
makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya