Sabtu, 03 Mei 2014

KEBUDAYAAN ACEH


Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam. Sejarah dan perkembangan suku bangsa Aceh juga menarik perhatian para antropolog seperti Snouck Hurgronje.
Dilihat dari sisi kebudayaannya, Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam. Kebudayaan Aceh ini banyak dipengaruhi oleh budaya-budaya melayu, karena letak Aceh yang strategis karena merupakan jalur perdagangan maka masuklah kebudayaan Timur Tengah. Beberapa budaya yang ada sekarang adalah hasil dari akulturasi antara budaya melayu, Timur Tengah dan Aceh sendiri. Suku bangsa yang mendiami Aceh merupakan keturunan orang-orang melayu dan Timur Tengah hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang berada di lain wilayah.

Sistem kemasyarakatan suku bangsa Aceh, mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh adalah bertani namun tidak sedikit juga yang berdagang. Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal Wali, Karong dan Kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan.

PENGENALAN DAN SEJARAH ACEH
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia. Aceh memiliki otonomi yang diatur tersendiri, berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, karena alasan sejarah. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, danSumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibu kota Aceh ialah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Ulee Lheue, Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Aceh merupakan kawasan yang paling buruk dilanda gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Beberapa tempat di pesisir pantai musnah sama sekali. Yang terberat adalah Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Singkil dan Simeulue.

Aceh mempunyai kekayaan sumber alam seperti minyak bumi dan gas alam. Sumber alam itu terletak di Aceh Utara dan Aceh Timur. Aceh juga terkenal dengan sumber hutannya, yang terletak di sepanjang jajaran Bukit Barisan, dari Kutacane, Aceh Tenggara, Seulawah, Aceh Besar, sampai Ulu Masen di Aceh Jaya. Sebuah taman nasional, yaitu Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) juga terdapat di Aceh Tenggara.

Sejarah Aceh
Pada zaman kekuasaan zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda.
Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan Portugal, lalu sejak abad ke-18 denganBritania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya.
Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di Sumatra kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.

Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Kesultanan Samudera Pasai yang hancur pada abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulauSumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Bahasa

Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.
Agama
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.

Aceh memiliki beberapa Kabupaten antara lain :
1.    Kabupaten Aceh Besar  Ibu Kota Jantho
2.    Kabupaten Pidei Ibukota Sigli
3.    Kabupaten Pidie Jaya Ibukota Meuredu
4.    Kabupaten Aceh Utara Ibukota  Lhok Sukon
5.    Kabupaten Aceh Bireuen Ibukota Bireuen
6.    Kabupaten Aceh Timur Ibukota  Idi Rayeuk
7.    Kabupaten Aceh Tamieng Ibukota  Karang Baru
8.    Kabupaten Aceh Tengah Ibukota Takengon
9.    Kabupaten Aceh Tenggara Ibukota Kutacane
11.Kabupaten Bener Meriah Ibukota Simpang Tiga Redelong
12.Kabupaten Aceh Barat Ibukota Meulaboh
13.Kabupaten Aceh Jaya Ibukota Calang
14. Kabupaten Nagan Raya  Ibukota Suka Makmu
15.Kabupaten Seumelu  Ibukota Sinabang
16.Kabupaten Aceh Selatan Ibukota Tapak Tuan
17.Kabupaten Aceh Barat Daya Ibukota Blang Pidie
18.Kabupaten Aceh SingkilIbukota Singkil
19.Kota Banda Aceh Ibukota Banda Aceh
20.Kota Sabang Ibukota Sabang
21.Kota Langsa  Ibukota Langsa
22.Kota Lhoksemawe Ibukota Lhokseumawe
23.Kota Sulubussalam Ibukota Merah Sakti Kombih.

Jenis Adat Istiadat Kebudayaan Aceh

Aceh sebagai sebuah entitas suku dan wilayah tentu sangat berbeda dengan suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis dan “terbuka”. Di daerah Nangro Darussalam ini terdapat beberapa subetnis, yaitu Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Diantara subetnis diatas, setiap etnis mempunyai adat istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan dari beberapa suku di indonesia. Diantaranya adalah:

1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh (suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.

2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang kembali ke rumah.

3. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak. Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan sebagainya